
Tuesday, August 7, 2012
at
9:16 AM
|

Selang
lima bulan kemudian, Marco Polo menuju Pidie, daerah utara Sumatra
lainnya. Di tempat ini, dia mendapati satu keluarga menyantap seluruh
badan seorang anggota keluarganya sendiri yang mati karena sakit. “Saya
yakinkan Anda bahwa mereka bahkan menyantap semua sumsum dalam
tulang-tulang orang itu,” tulis Marco Polo dalam “Para Kanibal dan
Raja-Raja: Sumatera Utara Pada 1920-an” dimuat dalam Sumatera Tempo
Doeloe karya Anthony Reid.

Kala
itu, kisah perburuan kepala manusia di wilayah pedalaman tengah dan
timur Nusantara telah tersebar luas di kalangan penjelajah dari
mancanegara, serupa dengan kisah kanibalisme. Tapi minat mereka terhadap
Nusantara tak pernah surut. Kapal-kapal dari pelabuhan penting di
Eropa tetap berlayar menuju Nusantara untuk berdagang. Perlahan mereka
menjelajah kepulauan Nusantara hingga ke pedalamannya dan bertemu
dengan suku pemburu kepala manusia.
Maret
1648. Perang antarkampung telah berlangsung berhari-hari di Seram.
Perang itu melibatkan orang-orang kampung di wilayah pantai dan orang
gunung yang disebut Alifuru. Meski tak diketahui secara pasti, VOC
(Vereenigde Oostindische Campaignie) melaporkan banyak korban tewas.
Korban dari pihak wilayah pantai ditemukan tanpa kepala. Gubernur Ambon
Robert Padtbrugge mengirim satu tim untuk mengusahakan perdamaian.
Selain itu, dia meminta tim untuk meneliti adat berburu kepala orang
Alifuru.

Tim
hanya mampu menjelaskan bahwa adat memburu kepala musuh merupakan
bagian tak terpisahkan dari ritus hidup orang Alifuru tanpa diketahui
kapan mulanya. Bagi orang Alifuru, memburu kepala musuh telah menempati
posisi penting dalam kehidupan sosial dan kepercayaannya. Anehnya, adat
itu tak mereka lakukan terhadap orang asing, baik Eropa maupun wilayah
Nusantara lainnya. Penerimaan mereka terhadap orang asing sangat baik.
Bahkan, mereka bersedia merundingkan perdamaian melalui perantara VOC
meski usaha itu akhirnya gagal.
Sementara itu, di Sulawesi, perburuan kepala diketahui telah berlangsung sebelum kedatangan orang Belanda. Orang Toraja Bare’e yang bermukim di Sulawesi Tengah selalu mengambil kepala musuhnya dalam tiap peperangan mereka, selama memungkinkan. Mereka harus membunuh dan memotong kepala musuhnya dengan cepat agar musuh tak mengalami penderitaan yang lama.
Kepala musuh kemudian dibawa ke kampung mereka. Upacara pun dilakukan. “Kepala diperlukan sebagai akhir masa berperang dan penahbisan di kuil sebagai tanda seseorang telah menjadi dewasa dan berani,” tulis R.E. Downs dalam “Head-Hunting in Indonesia”, Jurnal KITLV Vol. 111 No. 1 (1995).
Sementara itu, di Sulawesi, perburuan kepala diketahui telah berlangsung sebelum kedatangan orang Belanda. Orang Toraja Bare’e yang bermukim di Sulawesi Tengah selalu mengambil kepala musuhnya dalam tiap peperangan mereka, selama memungkinkan. Mereka harus membunuh dan memotong kepala musuhnya dengan cepat agar musuh tak mengalami penderitaan yang lama.
Kepala musuh kemudian dibawa ke kampung mereka. Upacara pun dilakukan. “Kepala diperlukan sebagai akhir masa berperang dan penahbisan di kuil sebagai tanda seseorang telah menjadi dewasa dan berani,” tulis R.E. Downs dalam “Head-Hunting in Indonesia”, Jurnal KITLV Vol. 111 No. 1 (1995).

Walaupun Wallace hidup di tengah penduduk pemburu kepala, Wallace merasa tak terancam. Bahkan, dia justru terkesan dengan karakter mental orang Minahasa. “Mereka juga memiliki karakter mental dan moral yang unik,” tulis Wallace. “Pembawaan mereka tenang dan halus.”

Suku-suku di Borneo memiliki beragam alasan berburu kepala musuh seperti balas dendam, tanda kekuatan dan kebanggaan, pemurnian jiwa musuh, atau bentuk pertahanan diri. Ini karena Borneo dihuni oleh beragam suku sehingga tiap suku memiliki pandangan yang berbeda mengenai ngayau (memburu kepala). “Saya yakin tak ada satu pun analisis yang bisa menjelaskan dengan tepat praktik dan makna-makna perburuan kepala...,” tulis Yekti Maunati dalam Identitas Dayak. “Di kalangan orang-orang Dayak sendiri terdapat berbagai kepercayaan dan mitologi.”
Posted by
Agus Rinanto