Tuesday, August 7, 2012
at
9:16 AM
|
Marco polo,
avonturir dari Italia, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya
di Perlak, bagian utara Sumatra, pada 1292. Di sana, dia melihat
penduduk yang tinggal di pegunungan memakan daging manusia. Sangat
berlawanan dengan penduduk yang tinggal di kota Perlak, di mana
masyarakatnya lebih beradab, bahkan setelah berhubungan dengan
pedagang-pedagang Islam, mereka berpindah dari menyembah berhala
menjadi pengikut ajaran Muhammad. Dia menuliskan itu dalam catatan
perjalanannya. Dia tahu catatannya akan mengejutkan, dan mungkin tak
dipercaya banyak orang. Karena itu, dia sampai bersumpah untuk
meyakinkan pembacanya.
Selang
lima bulan kemudian, Marco Polo menuju Pidie, daerah utara Sumatra
lainnya. Di tempat ini, dia mendapati satu keluarga menyantap seluruh
badan seorang anggota keluarganya sendiri yang mati karena sakit. “Saya
yakinkan Anda bahwa mereka bahkan menyantap semua sumsum dalam
tulang-tulang orang itu,” tulis Marco Polo dalam “Para Kanibal dan
Raja-Raja: Sumatera Utara Pada 1920-an” dimuat dalam Sumatera Tempo
Doeloe karya Anthony Reid.
Berbeda
dari Marco Polo di Sumatra, dalam naskah Sejarah Dinasti Ming
(1368-1643) Buku 323, diceritakan sebuah suku pemburu kepala di
Wu-long-li-dan, pedalaman Banjarmasin. Suku pemburu kepala itu disebut
orang Beaju –Be-oa-jiu dalam lafal Hokkian (Fujian) selatan–, sebuah
suku besar orang Dayak di pedalaman. Mereka berkeliaran saat malam hari
untuk memenggal dan mengoleksi kepala manusia. “Kepala ini mereka bawa
lari dan dihiasi dengan emas. Para pedagang sangat takut terhadap
mereka,” demikian dikutip W.P. Groeneveldt dalam Nusantara Dalam Catatan
Tionghoa.
Kala
itu, kisah perburuan kepala manusia di wilayah pedalaman tengah dan
timur Nusantara telah tersebar luas di kalangan penjelajah dari
mancanegara, serupa dengan kisah kanibalisme. Tapi minat mereka terhadap
Nusantara tak pernah surut. Kapal-kapal dari pelabuhan penting di
Eropa tetap berlayar menuju Nusantara untuk berdagang. Perlahan mereka
menjelajah kepulauan Nusantara hingga ke pedalamannya dan bertemu
dengan suku pemburu kepala manusia.
Maret
1648. Perang antarkampung telah berlangsung berhari-hari di Seram.
Perang itu melibatkan orang-orang kampung di wilayah pantai dan orang
gunung yang disebut Alifuru. Meski tak diketahui secara pasti, VOC
(Vereenigde Oostindische Campaignie) melaporkan banyak korban tewas.
Korban dari pihak wilayah pantai ditemukan tanpa kepala. Gubernur Ambon
Robert Padtbrugge mengirim satu tim untuk mengusahakan perdamaian.
Selain itu, dia meminta tim untuk meneliti adat berburu kepala orang
Alifuru.
Tim
kembali ke Ambon tanpa hasil. Perang tetap berkobar. Dan mereka tak
bisa menjelaskan secara pasti mengapa orang Alifuru memburu dan
mengoleksi kepala musuhnya. “Di hadapan gubernur, tim itu melaporkan
hasil penelitiannya mengenai kepercayaan orang Alifuru. Meski mengaku
telah bekerja dengan baik, mereka tak berhasil menjelaskannya secara
gamblang karena orang Alifuru sangat klenik. Mereka tak bisa
memahaminya,” tulis Gerrit J. Knaap dalam “The Saniri Tiga Air (Seram)”,
Jurnal KITLV Vol. 149 No. 2 (1993).
Tim
hanya mampu menjelaskan bahwa adat memburu kepala musuh merupakan
bagian tak terpisahkan dari ritus hidup orang Alifuru tanpa diketahui
kapan mulanya. Bagi orang Alifuru, memburu kepala musuh telah menempati
posisi penting dalam kehidupan sosial dan kepercayaannya. Anehnya, adat
itu tak mereka lakukan terhadap orang asing, baik Eropa maupun wilayah
Nusantara lainnya. Penerimaan mereka terhadap orang asing sangat baik.
Bahkan, mereka bersedia merundingkan perdamaian melalui perantara VOC
meski usaha itu akhirnya gagal.
Sementara itu, di Sulawesi, perburuan kepala diketahui telah berlangsung sebelum kedatangan orang Belanda. Orang Toraja Bare’e yang bermukim di Sulawesi Tengah selalu mengambil kepala musuhnya dalam tiap peperangan mereka, selama memungkinkan. Mereka harus membunuh dan memotong kepala musuhnya dengan cepat agar musuh tak mengalami penderitaan yang lama.
Kepala musuh kemudian dibawa ke kampung mereka. Upacara pun dilakukan. “Kepala diperlukan sebagai akhir masa berperang dan penahbisan di kuil sebagai tanda seseorang telah menjadi dewasa dan berani,” tulis R.E. Downs dalam “Head-Hunting in Indonesia”, Jurnal KITLV Vol. 111 No. 1 (1995).
Sementara itu, di Sulawesi, perburuan kepala diketahui telah berlangsung sebelum kedatangan orang Belanda. Orang Toraja Bare’e yang bermukim di Sulawesi Tengah selalu mengambil kepala musuhnya dalam tiap peperangan mereka, selama memungkinkan. Mereka harus membunuh dan memotong kepala musuhnya dengan cepat agar musuh tak mengalami penderitaan yang lama.
Kepala musuh kemudian dibawa ke kampung mereka. Upacara pun dilakukan. “Kepala diperlukan sebagai akhir masa berperang dan penahbisan di kuil sebagai tanda seseorang telah menjadi dewasa dan berani,” tulis R.E. Downs dalam “Head-Hunting in Indonesia”, Jurnal KITLV Vol. 111 No. 1 (1995).
Perburuan
kepala di Sulawesi masih berlangsung hingga kedatangan orang Eropa.
Alfred Russel Wallace, naturalis tersohor asal Inggris, yang mengunjungi
Manado pada 10 Juni 1859, mendapatkan cerita itu langsung dari
penduduk lokal (Minahasa). Kepala manusia dipakai untuk menghiasi makam
dan rumah. “Mereka berburu kepala manusia layaknya suku Dayak di
Kalimantan... Ketika seorang kepala suku meninggal, dua potong kepala
manusia yang baru dipenggal digunakan sebagai penghias makamnya...
Tengkorak manusia merupakan hiasan yang paling disukai untuk rumah
kepala suku,” tulis Wallace dalam catatannya, dimuat dalam Indonesia
Timur Tempo Doeloe 1544-1992 karya George Miller.
Walaupun Wallace hidup di tengah penduduk pemburu kepala, Wallace merasa tak terancam. Bahkan, dia justru terkesan dengan karakter mental orang Minahasa. “Mereka juga memiliki karakter mental dan moral yang unik,” tulis Wallace. “Pembawaan mereka tenang dan halus.”
Walaupun Wallace hidup di tengah penduduk pemburu kepala, Wallace merasa tak terancam. Bahkan, dia justru terkesan dengan karakter mental orang Minahasa. “Mereka juga memiliki karakter mental dan moral yang unik,” tulis Wallace. “Pembawaan mereka tenang dan halus.”
Adat
berburu kepala tak selamanya dipertahankan oleh suku-suku pedalaman.
Di Borneo misalnya, sebuah perjanjian antarsuku dibuat untuk
menghentikan saling bunuh (habunu), memenggal kepala (hakayau), dan
memperbudak (hajipen). Perjanjian pada 1894 itu termashyur dengan nama
Rapat Damai Tumbang Anoi. Sebelumnya, beberapa suku di Borneo terkenal
sebagai pemburu kepala musuh. Seorang penulis berkebangsaan Norwegia
mengukuhkan citra itu melalui bukunya yang terbit pada 1881, The
Head-Hunters of Borneo. Dalam bukunya ini, Carl Bock menuliskan
suku-suku itu berburu kepala dengan mandau, tombak, dan perisai. Setelah
mendapatkan kepala musuh, seseorang berhak mendapatkan tato simbol
kedewasaan.
Suku-suku di Borneo memiliki beragam alasan berburu kepala musuh seperti balas dendam, tanda kekuatan dan kebanggaan, pemurnian jiwa musuh, atau bentuk pertahanan diri. Ini karena Borneo dihuni oleh beragam suku sehingga tiap suku memiliki pandangan yang berbeda mengenai ngayau (memburu kepala). “Saya yakin tak ada satu pun analisis yang bisa menjelaskan dengan tepat praktik dan makna-makna perburuan kepala...,” tulis Yekti Maunati dalam Identitas Dayak. “Di kalangan orang-orang Dayak sendiri terdapat berbagai kepercayaan dan mitologi.”
Suku-suku di Borneo memiliki beragam alasan berburu kepala musuh seperti balas dendam, tanda kekuatan dan kebanggaan, pemurnian jiwa musuh, atau bentuk pertahanan diri. Ini karena Borneo dihuni oleh beragam suku sehingga tiap suku memiliki pandangan yang berbeda mengenai ngayau (memburu kepala). “Saya yakin tak ada satu pun analisis yang bisa menjelaskan dengan tepat praktik dan makna-makna perburuan kepala...,” tulis Yekti Maunati dalam Identitas Dayak. “Di kalangan orang-orang Dayak sendiri terdapat berbagai kepercayaan dan mitologi.”
Posted by
Agus Rinanto